Parade Sewu Kupat Kanjeng Sunan Muria
KEGIGIHAN dan kreativitas masyarakat Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, mulai membuahkan hasil. Bagaimana tidak, Parade Sewu Kupat Kanjeng Sunan Muria setelah tiga tahun digelar, baru mendapat apresiasi nyata dari Pemkab pada pergelaran kali ini. Seperti apa bentuk kreativitasnya? Berikut laporan yang ditulis dalam dua seri. TETABUHAN rebana dan sholawat berhenti. Para santri menyambut kedatangan masyarakat yang berbaris rapi di depan tangga masuk Masjid dan Makam Sunan Muria, Jumat (17/9) pagi. Warga yang membawa belasan tandu berisi gunungan ketupat, lepet, dan hasil bumi, lantas masuk ke masjid. Doa-doa dipanjatkan dan kain mori khaul Sunan Muria dibebatkan di gunungan-gunungan itu. Kepala desa selaku pemimpin rombongan menerima sebuah Pataka dari pihak Masjid dan Makam Sunan Muria. Pataka itu berisi sebuah tembang sinom dan kinanti, yang konon diciptakan oleh Sunan Muria.Ratusan orang lantas bergegas meninggalkan masjid, tetabuhan rebana dan sholawat kembali berkumandang. Mereka berjalan kaki membentuk arak-arakan sembari menandu gunungan dan membawa pataka menuju Taman Ria, yang jaraknya sekitar 800 meter dari masjid.
Setiba di sana, tembang kinanti itu lantas didedahkan oleh salah seorang tokoh masyarakat dengan diiringi karawitan. Liriknya bertutur tentang ajakan untuk tidak bermalasan-malasan, dinyanyikan di depan ratusan orang.
Sebuah tembang lain ciptaan Sunan Muria, sinom, lantas dibacakan melanjutkan kinanti.
Setelah kedua tembang didedahkan, ratusan warga langsung berebut gunungan-gunungan berisi kupat, lepet, dan hasil bumi yang telah disediakan.
Sebuah kain mori khaul Sunan Muria yang dibebatkan di gunungan diyakini kalau gunungan itu penuh limpahan berkah. Keriuhan itu adalah bagian dari prosesi merayakan tradisi syawalan di Desa Colo, yang diberi nama ‘’Parade Sewu Kupat Kangjeng Sunan Muria.’’
Sebelumnya, sekitar pukul 06.00, masyarakat telah melakukan ritual Barik’an atau doa bersama di jalan raya di desa yang mempunyai ketinggian 900 dpl itu. Mereka juga menggelar bancakan di sepanjang jalan tersebut.
Proses Akulturasi
Penganan kupat dan juga lepet konon awalnya adalah simbol sesaji. Namun, karena proses akulturasi yang dilakukan oleh Walisanga termasuk salah satunya Sunan Muria Raden Umar Said, kupat dan lepet akhirnya menjadi sebuah pertanda Lebaran Idul Fitri telah berlangsung.
Kupat dan lepet menjadi ungkapan rasa syukur masyarakat yang telah menjalani puasa Ramadan selama sebulan. Sikap kegembiraan tersebut dimaknai sebagai Badha Kupat atau Kupatan, yang di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, juga telah berlangsung dari tahun ke tahun. Di desa yang berada tepat di bawah salah satu puncak Pegunungan Muria dan merupakan lokasi makam Sunan Muria itu, Badha Kupat terwujud dalam acara selamatan dan doa yang dinamakan Barikan.
Berawal dari Barikan yang dilangsungkan di jalanan desa secara turun-temurun itulah, acara pesta kupat atau kupatan ala warga gunung tersebut, kini bisa disaksikan, Dengan sentuhan kreasi, Kupatan di Gunung Muria menjadi semakin kaya akan makna dari sisi budaya, prosesi ritual, serta menjadi lebih bisa dinikmati sebagai sebuah tontonan/pertunjukan masyarakat secara luas. Kupatan yang diadakan warga desa itu menemukan bentuknya.
Hajatan budaya yang dilangsungkan sepekan setelah Idul Fitri atau hari ke-8 Lebaran ini dinamai Parade Sewu Kupat Kangjeng Sunan Muria. Peristiwa tersebut terlahir pada Lebaran tahun 2007, berkat kerja sama warga Desa Colo, stakeholder, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar).
Kearifan Masyarakat
Kearifan masyarakat atau kearifan lokal di Kudus yang dikemas dan menelurkan peristiwa budaya, ternyata tak hanya Parade Sewu Kupat, ada beberapa peristiwa atau keramaian warga serupa di beberapa desa yang sebelumnya hanya dilangsungkan begitu-begitu saja.
Beberapa peristiwa budaya tersebut, yakni Festival Budaya Desa Wonosoco, Kecamatan Undaan, yang dilangsungkan tiap bulan Juli. Ada ritual resik-resik Sendang Dewot dan Sendang Gading yang airnya hingga kini masih terus menghidupi warga, pentas wayang klithik yang telah masuk benda cagar budaya, dan kirab budaya.
Kemudian pada bulan Maulid diadakan Festival Ampyang Maulid di Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati dan Gebyar Maulidan Jawwiyan di Desa Padurenan, Kecamatan Gebog, Hajatan budaya di dua desa tersebut tidak terlepas dari sepak terjang dan latar belakang ulama melakukan syiar di situ.
Lalu, pada bulan Syafar yakni pada Rabu terakhir, di Desa Jepang, Kecamatan Mejobo, digelar Prosesi Ritual Air Salamun. Juga di Desa Terban, Kecamatan Jekulo, dengan Festival Patiayam. Sisa event tersebut akan dilanjutkan dengan kirab budaya, sarasehan budaya, dan pentas kesenian tradisional pada bulan Oktober.
Festival Patiayam yang diadakan untuk mendorong pengelolaan Situs Purba Patiayam yang belum jadi menjadi tempat tujuan wisata, sebagaimana event serupa di Colo, Wonosoco, Jepang, Loram Wetan, dan Padurenan. Tidak mudah memang menumbuhkan daya tarik wisata bagi daerah yang miskin objek wisata.